ehem,...ternyata baru ngomong dah da yang komentar,..panjang umur,....
mampir lagi ,sekedar mengingatkan sekaligus,....bercermin,....pada diri kita,..khususnya yang sudah mempunyai momongan,..
ni..saya posting lagi untuk bacaan,..khususnya buat saya sendiri,...
Selamat membaca.....
UNTUK ANAK . . . ..
Untuk Anak ?
Renungan, kepada mereka yang sibuk berkarir
Seperti biasa Toni, Kepala Cabang sebuah perusahaan swasta terkemuka di Jakarta, tiba di
rumahnya pada pukul 9 malam. Tidak seperti biasanya, Nanda, putra pertamanya yang baru duduk di
kelas 2 SD yang membukakan pintu. Ia nampaknya sudah menunggu cukup lama.
“Kok belum tidur?” sapa Toni sambil mencium kening anaknya. Biasanya Nanda sudah lelap ketika
ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan berangkat ke kantor pagi hari. Sambil membuntuti sang
ayah menuju ruang keluarga, Nanda menjawab, “Aku menunggu Ayah pulang, sebab aku mau bertanya
berapa sih gaji Ayah.”
“Lho, tumben, kok nanya gaji Ayah segala? Mau minta uang lagi, ya?”
“Ah, enggak. Pengin tahu aja.”
“Boleh, kamu hitung saja sendiri. Setiap hari Ayah bekerja sekitar 10 jam dan dibayar Rp.
400.000,- Dan setiap bulan rata-rata Ayah bekerja selama 25 hari. Jadi, gaji Ayah dalam satu
bulan berapa, hayo?”
Nanda berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar, sementara ayahnya melepas
sepatu dan menyalakan televisi. Ketika Toni beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian, Nanda
berlari mengikutinya.
“Kalau satu hari Ayah dibayar Rp. 400.000,- untuk 10 jam, berarti satu jam Ayah digaji Rp.
40.000,- dong,” katanya.
“Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, bobok,” perintah Toni. Tapi Nanda tak beranjak.
Sambil menyaksikan ayahnya berganti pakaian, Nanda kembali bertanya, “Ayah, aku boleh pinjam
uang Rp. 5.000,- nggak?”
“Sudah, nggak usah macam-macam. Buat apa minta uang malam-malam begini? Ayah capek dan mau
mandi dulu. Tidurlah.”
“Tapi, Ayah…”
Kesabaran Toni habis. Pekerjaan di kantornya seharian ini betul-betul menguras tenaganya.
“Ayah bilang tidur!” hardiknya mengejutkan Nanda. Anak kecil itu pun berbalik menuju kamarnya.
Usai mandi, Toni nampak menyesali hardikannya. Ia pun menengok Nanda di kamar tidurnya. Anak
kesayangannya itu belum tidur. Nanda didapatinya sedang terisak-isak pelan sambil memegang uang
Rp. 15.000,- di tangan yang satu dan mainan ular tangga di tangan lainnya. Sambil berbaring dan
mengelus kepala bocah kecil itu, Toni berkata, “Maafkan Ayah, Nak. Ayah sayang sama Nanda. Buat
apa sih minta uang malam-malam begini? Kalau mau beli mainan, besok kan bisa. Jangankan Rp.
5.000,- saja, lebih dari itu pun Ayah beri.”
Tangis Nanda langsung berhenti. Ia bangkit dan duduk sambil memandang ayahnya.
“Ayah, aku nggak minta uang. Aku pinjam. Nanti aku kembalikan kalau sudah menabung lagi dari
uang jajan selama minggu ini.”
“Iya, iya, tapi buat apa?” tanya Toni lembut.
“Aku menunggu Ayah dari jam 8. Aku mau ajak Ayah main ular tangga. 30 menit saja. Ibu sering
bilang kalau waktu Ayah itu sangat berharga. Jadi, aku mau membeli waktu Ayah. Aku buka
tabunganku, ada Rp. 15.000,- Tapi karena Ayah bilang satu jam Ayah dibayar Rp. 40.000,- maka
setengah jam berarti Rp. 20.000,- Uang tabunganku kurang Rp. 5.000,- Makanya aku mau pinjam dari
Ayah,” kata Nanda polos.
Toni terdiam. Ia kehilangan kata-kata. Dipeluknya bocah itu erat-erat. Matanya berkaca-kaca.
* * *
Teman, inilah yang saat ini banyak terjadi diantara kita. Kebanyakan anak-anak orang kantoran
maupun wirausahawan saat ini memang merindukan saat-saat bercengkerama dengan orang tua mereka.
Saat dimana mereka tidak merasa "disingkirkan" dan diserahkan kepada suster, pembantu atau
sopir. Mereka tidak butuh uang yang lebih banyak. Mereka ingin lebih dari itu. Mereka ingin
merasakan sentuhan kasih-sayang Ayah dan Ibunya.
Apakah hal ini berlebihan? Sebagian besar wanita karier yang nampaknya menikmati
emansipasi-nya, diam-diam menangis dalam hati ketika anak-anak mereka lebih dekat dengan suster,
supir, dan pembantu daripada ibu kandung mereka sendiri. Seorang wanita muda yang menduduki
posisi asisten manajer sebuah bank swasta, menangis pilu ketika menceritakan bagaimana anaknya
yang sakit demam tinggi tak mau dipeluk ibunya, tetapi berteriak-teriak memanggil nama pembantu
mereka yang sedang mudik lebaran.
CARA MENGGADAIKAN,
CARA MENEBUS,
CARA MEMPERPANJANG
CARA MENCICIL ( MENGURANGI POKOK PINJAMAN )
BILA SURAT GADAI HILANG
MENEBUS BUKAN ATAS NAMA SENDIRI KLIK DISINI
Brosur
Minggu, 06 Desember 2009
Skedar Tau
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar